Jakarta

Friday, December 23, 2011

SEBUAH PERMINTAAN


Hari ini hujan menyiram kota Garut dan sekitarnya sejak siang hari. Akupun enggan keluar kamar sejak tiba di kos sore tadi, walau sekedar ngobrol dengan teman tetangga kamar. Selepas sholat Maghrib, aku hanya berdiam diri di kamar, ditemani lagu-lagu kesayanganku yang kuputar di laptop. Ku ambil sebuah novel karya seorang penulis kesayanganku, novel itu belum sempat kubaca setelah 1 minggu lebih aku membelinya.

Baru saja aku membuka halaman kedua, terdengar lagu Pyramid nya Charice. Ponsel ku berdering, tertera nomor ponsel yang tidak aku kenal. Ku tekan tombol silence, aku tak mau di ganggu oleh penelepon yang tidak kukenal. Ponsel ku kembali berdering, kembali ku tekan tombol silence. Aku bangun dari posisi tubuhku semula. Ku atur ulang posisi tubuh ku. Kali ini aku bersandar ditembok dengan alas bantal besar bergambar princess kesayanganku. Ketika akan membuka novel, ponsel ku kembali bordering, dari nomor yang sama dengan telepon pertama dan kedua. Ku putuskan untuk mengangkatnya, siapa tau penting, sampai 3 kali dia menelepon ku.

“Halo..” Dari seberang telepon terdengar suara jawaban “Hai Alya…” Deg, jantungku berdetak kencang, suaranya seperti ku kenal, suara yang 3 tahun lalu selalu menjadi suara yang selalu menyuntikkan semangat setelah mendengarnya. Aaah tapi aku belum yakin..”maaf, siapa ini ya?” tanyaku…”Rupanya nomor Hp ku tak lagi kamu simpan Alya…its ok…Aku Kafka….” Terdengar nada kecewa dari suara laki-laki itu. Ya Tuhan…ternyata benar, suara itu adalah suara Kafka, suara laki-laki yang pernah aku rindukan. Ingatan ku kembali kepada 3 tahun yang silam, suara itu kerap mengisi hari-hariku, pagi ketika bangun tidur, siang saat makan siang, dan malam ketika akan tidur. Yup, 3 kali hari sehari seperti minum obat. Tak harus Kafka yang menelpon, kadang aku yang menelepon nya. Ritual itu begitu konsisten walau usia hubungan kami sudah 1 tahun, kami bisa menjaga konsistensi hubungan kami, sampai akhirnya takdir yang mebuat kami harus berpisah.i

“Alya…Halooo…Alya…kamu masih disitu?” suara Kafka membuyarkan lamunanku. “ooohh..ya..ya..maaf…aku hanya kaget…hai...kamu apa kabar?” jawabku terbata-bata. “Aku baik-baik” jawabnya. “Kamu apa kabar Al? Ku dengar kamu sekarang tinggal di Garut? Apa itu benar Al?” Tanya nya bertubi-tubi. “Alhamdulillah aku juga baik-baik Kafka, terima kasih. Ya, aku sudah hampir 1 tahun tinggal di Garut”. Ada apa Kafka, ada yang bisa aku bantu?” Tanya ku.

“Alya…minggu depan aku akan menikah...” Ya Tuhan, aku kaget sekali mendengarnya, ada perasaan sakit menyusup di hatiku. Apa maksud Kafka menelepon aku untuk memberitahu pernikahannya, apa yang ada dipikiran Kafka, Tanya ku dalam hati…”Alya…” lanjut Kafka. Selama 3 tahun ini aku tak bisa menghapus rasa cintaku kepadamu…bahkan dengan kehadiran calon istriku sekalipun. Aku memang sayang kepada calon istriku, tapi sepertinya cinta aku tertinggal di hatimu Alya. Tolong aku Al, apa yang harus aku lakukan?” Menjelang pernikahan aku sangat merindukanmu, sampai pada hari ini, aku memberanikan menghubungimu” aku tersentak mendengar pengakuan Kafka, dia merasakan apa yang aku rasakan juga. Cintaku kepada Kafka juga tak pernah bisa hilang dari hatiku, meski 3 tahun telah berlalu. Aku menguatkan hatiku, untuk berkata-kata. “Kafka, terima kasih…terima kasih atas rasa cintamu yang begitu besar, aku sangat menghargainya. Tapi kamu tidak pantas berbicara seperti itu. Aku tau betul apa yang akan dirasakan oleh tunanganmu, jika dia tau apa yang kamu lakukan ini. Aku sangat bisa merasakan perasaannya, walau aku juga masih menyimpan rasa cinta kepadamu.”

“Alya, rasanya aku ingin memelukmu saat ini…aku sedih, mengapa takdir cinta kita seperti ini…” suara Kafka terdengar parau. “Kafka, kamu menangis?” tanyaku. Sesaat, tak ada suara jawaban dari Kafka. ”Kafka…Kafka…kamu ndak papa?’ Tanya ku kembali. Lalu terdengar samar-samar suara isak Kafka. Ya Tuhan, benar, dia menangis. Aku tak pernah melihat Kafka menangis ketika kami masih bersama. Aku mulai merasa mata ku panas, air mata ku pun mengalir. Aku pun ikut menangis. Aku tak pernah menyangka Kafka ternyata mencintai aku begitu dalam.

Aku kembali teringat kisah cinta kami. Saat kami berpisah, 3 tahun yang lalu, dia tak berkata banyak, kami hanya diam, keputusan untuk berpisah hanya kami bicarakan via telepon pada malam sebelum kami bertemu. Di hari perpisahan itu, kami hanya saling pandang tanpa berkata-kata. Aku melihat gurat kesedihan di wajah Kafka. Kafka lebih sering memandang ke arah laut sambil menggenggam tangan ku. Diriku yang selalu menangis, tangis ku tak terbendung ketika Kafka melingkar kan tangan nya ke pundak aku, dan kemudian merengkuh nya. Isak tangisku semakin kencang, seolah ingin menyaingi suara debur ombak. Sesekali kafka menghapus air mataku, dan juga mengecup keningku. Dia hanya berkata, “aku sangat mencintaimu”. Setelah sesak di dada ku sedikit berkurang, aku melepaskan pelukan Kafka. Aku pun berkata, “aku juga sangat mencintaimu”. Lalu Kafka, mencium kedua pipi ku dan bibirku. Lalu kami berpelukan, lama sekali. Sampai akhirnya aku ingin melepaskannya, tapi Kafka semakin erat memelukku, seakan tak mau melepasku. Baru ketika aku berkata “aku tak bisa bernafas Kafka, dengan cepat dia melepaskan pelukannya, tlalu bertanya dengan panik, “Alya, maaf…kamu  ndak papa?” aku menggeleng…Lalu Kafka meraih tangan ku, dan kembali berkata “Aku sangat…sangat mencintai mu Alya” Aku tersenyum dan berkata “aku tau Kafka, terima kasih atas cinta yang kau berikan selama ini. Mata ku kembali terasa panas, air mata ku kembali jatuh membasahi pipiku. Aku tak sanggup, aku harus segera pergi meninggalkan Kafka. “Selamat tinggal kafka, jaga dirimu baik-baik ya, jangan terlalu capek, ingat gejala liver mu ya. Jangan memaksakan diri untuk menyelesaikan tulisan bila sudah larut malam. Kafka memang seorang penulis terkenal di Indonesia. Karya nya sudah banyak dinikmati masyarakat, bahkan sudah banyak yang di buat film dan sinetron. Tangan Kafka semakin kuat menggenggam tangan ku. “Lepaskan Kafka, aku mohon, aku harus pergi. Kafka..please…” Kafka terus memandang aku, kemudian dia menggenggam wajahku, dan menghapus air mataku. Aku memandang matanya, tatapannya begitu sendu, kesedihan nampak sekali di mata itu. Kemudian aku raih tangannya, ku lepaskan dari wajah ku, lalu aku membalikkan badan dan bersiap untuk pergi. Kafka kembali meraih tangan kananku dan berkata “aku sangat mencintaimu Alya”. Perlahan aku aku lepaskan tangannya. Untuk terakhir kalinya aku mengecup pipinya, kemudian aku berlari sambil menangis. Terdengar suara Kafka terus memanggil namaku. Aku tak mau menoleh ke belakang, karena sejak saat itu, Kafka telah menjadi masa lalu ku, dan masa lalu tak akan pernah bisa kembali.

“Alya…Alya…” Aku tersentak, suara Kafka membuyarkan lamunanku. “Maafkan aku Alya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ku. “Tidak apa Kafka, aku mengerti” jawabku dengan suara parau. “Alya, kamu juga menangis sayang? “Yah..Kafka, apakah kau tau, alasan aku pindah ke Garut adalah karena ingin melupakanmu. Aku tak sanggup bila masih ada di lingkungan yang selalu membuat aku teringat padamu. Aku hapus semua yang ada hubungannya denganmu. Nomor telepon, Facebook, Twitter, BBM, YM dan Gtalk. karena hatiku sakit walau hanya melihat namamu” Jawabku sambil terisak. “Alya, aku semakin ingin memelukmu saat ini. Cinta kita ternyata masih subur terpelihara di hati kita masing-masing walau sudah 3 tahun kita berpisah. Aku tak menyangka sama sekali, aku kira kamu membenci aku, karena kamu benar-benar telah menghapus namaku di semua akses sosial media dan Instant messanger. Ternyata kamu lakukan itu sebagai cara untuk melupakan aku.

“Alya, aku ingin bertemu, sebelum aku menikah. Aku mohon Alya, dimana kamu sekarang, beri aku alamatmu, please…”pinta Kafka. Aku menghela nafas, dan menjawab “tidak Kafka, aku minta maaf…Aku tidak bisa. Aku tidak bisa melakukannya, bukan nya aku tidak mau. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Apalagi setelah aku tau, ternyata kamu masih sangat mencintaiku, bahkan disaat sudah ada wanita lain yang mengisi hari-hari mu selama hampir 1 tahun. Aku tidak tau, ini kenyataan yang membahagiakan atau menyedihkan. Aku tidak tau, aku harus bahagia atau aku harus sedih.”

“Alya…Apakah cinta kita ini yang dinamakan cinta sejati?” tanya Kafka. “cinta kita begitu kuat, walau kita tau, kita tak pernah bisa bersatu” lanjutnya. “Mungkin” sahutku singkat. “Ayolah Alya, aku ingin bertemu denganmu, tolong kabulkan permintaan aku, untuk terakhir kali sebelum aku menikah. Aku berjanji, aku tak akan menganggu mu lagi setelah itu” bujuk Kafka. “Kafka, mengertilah..aku tidak bisa. Aku sudah bilang, aku tidak bisa meski aku ingin” jelasku. “Sama seperti pada saat kamu meminta aku untuk tetap menjalin hubungan. Pada saat itu aku juga menjawab, aku tidak bisa bukan tidak mau. Apakah kamu bisa membayangkan perasaan aku, betapa tersiksanya aku, aku sangat ingin melakukan sesuatu, tapi keadaan yang membuat aku tak bisa melakukannya. Semua keputusan ada di tangan aku, aku yang menentukan, apakah aku harus tetap berada disamping orang yang aku cintai atau tidak. Semua itu terulang kembali hari ini, saat kamu meminta untuk bertemu, rasanya sakit...sakit sekali ” jelasku.

“Maafkan aku Alya, maaf atas semua permintaan aku. Maafkan aku yang hanya bisa meminta darimu, tapi aku tak pernah bisa memberimu solusi atas permasalahan cinta kita. Alya, boleh aku bertanya? “ya, silahkan”jawabku. “Mengapa kau tidak mencari pengganti ku?” tanya nya lagi. “Heh? Siapa yang bilang? “aku balik bertanya dengan nada kesal. “Maaf, jadi kamu sudah punya penggantiku? Sekali lagi maaf Alya, karena selama ini aku kerap menanyakan kabarmu kepada Aisya. Aisya bilang kamu belum mempunyai penggantiku. “hahaha” aku tertawa. “Aisya tidak lagi banyak tau tentang aku. Aku juga menghindar dari Aisya, karena Aisya termasuk salah satu orang yang bisa mengingatkan aku kepadamu. Asal kamu tau ya, 2 laki-laki pernah mengisi hatiku, tapi mungkin memang belum jodoh tau..huuu…dasar”ujarku kesal. “iya..iya..maaf…bagus kalo begitu, semoga kamu bisa mendapakan kebahagian ya” Kafka menjawab sambil tertawa renyah.

“Kafka, harusnya kamu bersyukur, hari-harimu akan ditemani oleh seorang yang pasti mencintaimu, dan perlahan cintamu pada ku pasti akan pudar. Lain halnya dengan aku, aku masih harus berjuang untuk menghapus cinta ku padamu tanpa ditemani oleh siapapun. Tapi aku yakin, pasti aku juga kan bertemu dengan laki-laki yang begitu mencintaiku” ucapku dengan nada mantap. “Aamiin” sahut Kafka. “Untuk itu, aku mohon kamu jangan lagi datang dikehidupanku, agar aku mudah melupakanmu” pintaku. “Tapi kamu akan datang ke pernikahan aku kan Alya?” tanya Kafka. “Maaf Kafka, aku tak bisa, aku doakan kamu selalu bahagia ya, aku mohon kamu mengerti” jawabku.
“Aku mengerti Alya, terima kasih atas doamu. Baiklah, selamat tinggal Alya..jaga dirimu baik-baik ya Alya, aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Selamat malam Alya” Kafka mengakhiri pembicaraan kami. “Selamat Malam Kafka” jawabku. Terdengar klik, tanda Kafka menutup teleponnya.

Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau telah memberikan aku ketetapan hati, untuk tidak menuruti permintaan Kafka, permintaan yang jika aku penuhi, mungkin akan membawa satu kenangan menyakitkan untukku di kemudian hari. Kafka, maafkan aku karena tidak bisa memenuhi permintaanmu, walau jauh di lubuk hati ku, aku sangat ingin bertemu denganmu.

Di luar hujan sudah berhenti, tapi airmata ku mulai mengalir di pipiku lagi. Teringat kisah cintaku dengan kafka yang tidak akan pernah bersatu. Tapi aku yakin, kenangan cinta kami akan selalu ada di salah satu sudut hati kami masing-masing, meski sudut hati kami lainnya telah diisi oleh cinta yang lain, yang akan menemani hari-hari kami selanjutnya.

No comments:

Post a Comment